Jumat, 02 November 2012

UJIAN AKHIR TEORI EKONOMI 1



UJIAN AKHIR TEORI EKONOMI 1
ANALISA INFLASI JAGUNG DAN GULA

KELOMPOK 5 (SMAK05-3) :  Agustya Lisdayanti         (20211399)
                                              Raycard Destion Daniel (25211919)
                                              Wanda Anindita              (27211355)

Mengukur Inflasi dengan CPI (Consumer Price Index) dan GDP Deflator Jagung di Indonesia
Tahun
Harga Eceran  (Rp/ton, dlm ribu)
Kuantitas (ton/thn)
IHK /CPI
Inflasi CPI
Nominal GDP
Real GDP
GDP Deflator
Inflasi GDP Deflator
1995
394
8.142.863
1,00
 0%
3208288022
3208288022
100
0%
1996
478
9.200.807
1,22
22%
4397985746
3625117958
121
21%
1997
499
8.671.647
1,38
13,11%
4327151853
3416628918
127
4,95%
1998
869
10.110.557
2,41
74,64%
8786074033
3983559458
221
74,01%
1999
1.074
9.204.036
2,92
21,16%
9636625697
3626390184
273
23,53%
2000
930
9.676.899
3,35
14,72%
8999516070
3812698206
236
13,55%
2001
1.231
9.347.192
4,55
35.82%
11506393350
3682793648
312
32,20%
2002
1.317
9.654.105
7,67
68,57%
12714456290
3803717370
334
70,51%
2003
1.533
10.886.442
8,45
10,17%
16688915590
4289258148
389
16,47%




  
Mengukur Inflasi dengan CPI (Consumer Price Index) dan GDP Deflator Gula di Indonesia
Tahun
Harga Eceran  (Rp/ton, dlm ribu)
Kuantitas (ton/thn)
IHK /CPI
Inflasi CPI
Nominal GDP
Real GDP
GDP Deflator
Inflasi GDP Deflator
1995
1578
1075815
1,00
0%
1697636070
1194154650
100
0%
1996
1616
1128836
1,02
-5,9%
1824198976
1253007960
145,59
2,41%
1997
1693
1443518
1,05
2,3%
2443875974
1602304980
152,52
4,76%
1998
3178
1933606
1,88
79,18%
6144999868
2146302660
286,31
87,71%
1999
2762
2246416
0,87
-53,7%
6204600992
2493521760
248,83
-13,09%
2000
3301
2401037
1,2
37,52%
7925823137
2665151070
297,39
19,51%
2001
4182
2497190
1,27
6%
10443248580
2771880900
376,76
26,69%
2002
3792
2547174
0,91
-28,43%
9658883808
2827363140
341,62
-9,33%
2003
4701
2570734
1,24
36,72%
12085020534
2853514740
423,51
23,97%




ANALISA
Terdapat dua indikator untuk mengukur tingkat inflasi di suatu negara yaitu GDP deflator dan CPI (Consumer Price Index). Indikator GDP Deflator menunjukkan besarnya perubahan harga dari semua barang baru, barang produksi lokal, barang jadi, dan jasa, tetapi tidak termasuk barang impor. Sedangkan indikator CPI mengukur perubahan tingkat harga barang-barang konsumsi dan jasa yang dibeli oleh rumah tangga termasuk barang impor.
Dari dua grafik yang telah dijabarkan di atas, maka dapat di tarik analisa sebagai berikut:
Grafik Jagung di atas menunjukkan perbedaan inflasi jagung yang terjadi di Indonesia dari tahun 1995-2003 yang dihitung dengan menggunakan GDP Deflator dan CPI. Inflasi di Indonesia terbilang fluktuatif. Hal ini terbukti dengan menggunakan GDP Deflator, inflasi dapat mencapai titik tertinggi pada tahun 1998 sebesar 74,01% dan titik terendah pada tahun 1997 sebesar 4,95%. Inflasi dengan menggunakan indikator CPI menciptakan titik tertinggi pada tahun 1998 sebesar 74,64% dan titik terendah pada tahun 2003 sebesar 10,17%.
Sedangkan Grafik Gula di atas menunjukkan perbedaan inflasi gula yang terjadi di Indonesia dari tahun 1995-2003 yang dihitung dengan menggunakan GDP Deflator dan CPI. Inflasi di Indonesia terbilang fluktuatif, terbukti dengan menggunakan GDP Deflator, inflasi dapat mencapai titik tertinggi pada tahun 1998 sebesar 87,71% dan titik terendah pada tahun 1997 sebesar -13,09%. Inflasi dengan menggunakan CPI menciptakan titik tertinggi pada tahun 1998 sebesar 79,18% dan titik terendah pada tahun 1999 sebesar -53,7%.
Dari dua data inflasi di atas, Inflasi tertinggi terjadi pada tahun 1998 yang merupakan inflasi akibat adanya krisis moneter yang melanda dunia dan kegoyahan pemerintah Indonesia dikarenakan turunnya Soeharto sebagai presiden.

http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ART8-4a.pdf
http ://agribisnisfpumjurnal.files.wordpress.com/2012/03/jurnal-vol-5-no-2-zaini.pdf





Senin, 29 Oktober 2012

Kemiskinan di Provinsi Papua Barat


Oleh:
Agustya Lisdayanti                20211399
Rarycard Destion Daniel       25211919
Wanda Anindita                    27211355
SMAK05-3



Kemiskinan di Provinsi Papua Barat

Berdasarkan fakta yang dikemukakan pada http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/173118-10-propinsi-paling-miskin-di-indonesia tahun 2010, ternyata diketahui bahwa Papua Barat menempati urutan pertama dalam 10 provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi. Oleh sebab itu, kami memilih  Papua Barat sebagai bahan penelitian kami. Dengan data dari http://www.scribd.com/doc/30325188/Analisis-Kemiskinan-Prov-Papua-Barat-2006-2009, kami menyajikan tabel, grafik, serta langkah penanggulangan kemiskinan Papua Barat.

A.                Perkembangan Tingkat Kemiskinan di Papua Barat, 2006-2009
Dalam data ini, metode pengukuran kemiskinan yang dipakai penulis adalah metode garis kemiskinan pendapatan dan garis kemiskinan konsumsi. 

             Grafik 3.1 Menunjukkan penurunan jumlah penduduk miskin dari 284,1 ribu jiwa pada tahun 2006 menjadi 256,8 ribu jiwa pada tahun 2009. Presentase penduduk miskin juga turun dari 41,34% pada tahun 2006 menjadi 35,71% pada tahun 2009.

Disisi lain, garis kemiskinan pada tahun 2006-2009 menunjukkan perkembangan selalu naik. Kenaikan garis kemiskinan disebabkan oleh kenaikan harga barang dan jasa. Selain itu, ketergantungan Papua Barat terhadap produk impor dari prvinsi lain mengakibatkan harga kebutuhan hidup senantiasa meningkat.

Tabel 3.2 menunjukkan bahwa penurunan jumlah penduduk miskin di Papua Barat terjadi di semua kabupaten/ kota kecuali kabupaten Manokrawi, kabupaten Teluk Wondama, dan kabupaten Teluk Bintuni. Tetapi dari sisi presentase penduduk miskin, semua kabupaten atau kota di Papua Barat mengalami penurunan. Penurunan presentase penduduk miskin di kota Sorong selama periode 2006-2008 mencapai 69,69% dan merupakan penurunan presentase penduduk miskin tertinggi di Papua Barat. Sebaliknya, penurunan presentase penduduk miskin di kabupaten Sorong terendah yaitu 23,97%.

B.                 Tingkat Kemiskinan di Perkotaan dan di Pedesaan Papua Barat, 2006-2009

Perkembangan garis kemiskinan di perkotaan dan pedesaan keduanya menunjukkan kenaikkan dalam periode yang sama. Kenaikkan garis kemiskinan diperkotaan lebih cepat daripada di pedesaan. Dengan menyusun index berantai, garis kemiskinan di perkotaan pada tahun 2006-2007 naik 1,41%. Kenaikkan garis kemiskinan di perkotaan lebih tinggi lagi selama 2007-2008 yaitu sebesar 16,84%. Kenaikkan garis kemiskinan di perkotaan pada periode 2008-2009 bahkan mencapai 24,48%. Bandingkan dengan kenaikkan garis kemiskinan di pedesaa. Kenaikkan garis kemiskinan di pedesaan selama 2006-2007, 2007-2008, dan 2008-2009 berturut-turut 3,14%, 12,34%, dan 16,98%.
            Secara umum, kenaikan garis kemiskinan di pedesaan dan di perkotaan selama periode 2006-2009 diikuti oleh penurunan jumlah dan presentase penduduk miskin kecuali pada periode 2008-2009. Selama periode 2008-2009 jumlah dan presentase penduduk miskin di perkotaan turun, sementara di pedesaan naik.
            Anomali peningkatan jumlah dan presentase penduduk miskin di pedesaan selama 2008-2009 menarik untuk diuji lebih lanjut. Satu-satunya informasi yang diharapkan dapat menjelaskan fenomena ini adalah inflasi pedesaan yang didekati dengan perubahan indeks harga konsumen pedesaan (IHKP).

            Tabel 3.4 menunjukkan jumlah dan presentase penduduk miskin di Papua Barat menurut daerahnya pada bulan maret pada tahun 2006-2009.

Gambar di atas menunjukkan IHKP (Indeks Harga Kosumen Pedesaan) dan Inflasi Konsumsi Rumah Tangga pada bulan Maret 2007-2009. IHKP kondisi Maret 2009 lebih tinggi daripada kondisi Maret 2008. IHKP kondisi rumah tangga pada bulan Maret 2008 tercatat 105,74 persen (2007 = 100 persen) dan untuk kelompok pengeluaran yang sama IHKP pada Maret 2009 tercatat 119,22 persen. Artinya, telah terjadi inflasi sebesar 12,75 persen selama Maret 2008-Maret 3009 untuk konsumsi rumah tangga di pedesaan.
Disisi lain, kenaikan garis kemiskinan di pedesaan selama 2008-2009 mencapai 16,98 persen, lebih tinggi 4,23 poin dari angka inflasi pedesaan pada periode yang sama.
Garis kemiskinan di bangun oleh Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). GKM di Indonesia pada tahun 2008 Rp. 132.453 per kapita per bulan. Kontribusi GKM mencapai 67,69 persen terhadap garis kemiskinan yang besarnya 195,678 per kapita per bulan. Kontribusi GKM Papua Barat tahun 2008 mencapai 72,35 persen dari garis kemiskinan yang besarnya Rp 270.990 per kapita per bulan. Fakta ini menunjukkan bahwa kenaikan harga bahan makanan sedikit saja akan berdampak besar pada kenaikan garis kemiskinan.

                   Dengan memperhatikan IHKP bahan makanan di pedesaan diharapkan dapat menjelaskan kenaikan garis kemiskinan di pedesaan.IHKP Maret 2008 untuk kelompok bahan makanan sebesar 108,72 persen. Terjadi kenaikan harga di tingkat konsumen pedesaan 8,72 persen dibandingkan btahun 2007. IHKP Maret 2009 un tuk kelompok bahan makanan sebesar 127,49 persen. Artinya, terjadi kenaikan harga bahan makanan di pedesaan 27,49 persen dibandingkan kondisi tahun 2007. Dengan demikian, inflasi bahan makanan di pedesaan tercatat 12,72 persen,  lebih tinggi 0,29 poin dari kenaikan garis kemiskinan di pedesaan pada kurun Maret 2008-Maret 2009.

C.                Indeks Kedalaman Kemiskinan di Papua Barat, 2006-2009
Selama 2006-2007, indeks kedalaman kemiskinan nak dari 8,08 persen menjadi 12,97 persen. Tingkat kemiskinan Papua Barat pada tahun 2007 lebih dalam tahun daripada tahun 2006. Pada tahun 2008, indeks kedalaman kemiskinan Papua Barat turun menjadi 9,18 persen dan naik kembali menjadi 9,75 persen pada tahun 2009. Tingkat kedalaman kemiskinan di Papua Barat pada tahun 2009 terbilang paling dalam di seluruh Indonesia.

            Pola perkembangan indeks kedalaman kemiskinan di desa dan di kota juga berbeda. Perkembangan indeks kemiskinan di kota menunjukkan pola menurun. Senaliknya di desa, perkembangan indeks kedalaman kemiskinan cenderung naik. Indeks kedalaman kemiskinan di kota pada tahun 2006 sebesar 2,94 persen turun menjadi 0,73 pada tahun 2007 dan 2008 dan 0,43 pada tahun 2009. Di sisi lain, indeks kedalaman kemiskinan di desa pada tahun 2006 sebesar 10,48 naik menjadi 16,58 pada tahun 2007. Pada tahun 2008, indeks kedalaman kemiskinan di desa turun menjadi 11,67 dan naik lagi menjadi 12,51 pada tahun 2009.


            Perbandingan perkembangan indeks kedalaman kemiskinan menurut kabupaten/kota di Papua Barat disajikan pada table 4.2. Tampak bahwa indeks kedalaman kemniskinan di Kabupaten Teluik Bintuni terbesar baik pada tahun 2006, 2007, maupun 2008. Ini menunjukkan bahwa jarak rata – rata pengeluaran per kapita per bulan dari penduduk miskin terhadap garis kemiskinan di Kabupaten Teluk Bintuni paling jauh dibandingkan kabupaten/kota lain di Papua Barat. Kondisi serupa ditemukan di Kabupaten Teluk Wondama.

D.                Indeks Keparahan Kemiskinan di Papua Barat, 2006-2009
            Meskipun persentase penduduk miskin di Papua Barat pada tahun 2009 menduduki peringkat dua teratas di Indonesia tetapi tingkat kedalaman kemiskinan sangat mengkhawatirkan. Selain itu, tingkat kemiskinan di papua Barat pada tahun 2009 merupakan yang paling parah se-Indonesia.


Indeks keparahan kemiskinan pada Maret 2009 sebesar 3,57. Indeks ini lebih tinggi 0,7 poin dibandingkan kondisi Maret 2008 dan 0,95 poin dibandingkan dengan kondisi Maret 2006 tetapi lebih rendah 1,09 daripada kondisi Maret 2007.
            Tingkat kemiskinan di desa lebih parah daripada di kota. Hal ini bisa terlihat dari table di atas, yaitu pada Maret 2006-2009 secara berturut – turut sebesar 3,44 , 7,29, 4,46 , dan 4,61.


Pada table 5.2 , tampak kondisi Maret 2009, dari 9 kabupaten/kota hanya Kabupaten Kaimana yang indeks keparahan kemiskinannya di bawah dua. Selain itu, Perkembangan indeks keparahan kemiskinan di Kabupaten Kaimana menunjukkan pola menurun. Indeks keparahan kemiskinan di kabupaten Teluk Butini bahkan mencapai 7,32 dan merupakan indeks keparahan kemiskinan tertinggi.

E.                 Strategi Utama Penanggulangan Kemiskinan

Ada dua sasaran pengentasan kemiskinan. Pertama, peningkatan pendapatan penduduk miskin. Kedua, pengurangan pengeluaran kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Kedua sasaran tersebut harus ditopang oleh empat pilar yang kokoh, yaitu menciptakan kesempatan kerja, pemberdayaan masyarakat, peningkatkan kapasitas, dan perlindungan social. Selain itu, juga dibutuhkan sinkronisasi kebijakan makro dan mikro serta sinkronisasi kebijakan operasional. Selain itu, penyaluran beras miskin (raskin), program nasional pemberdayaan masyarakat mandiri (PNPM Mandiri/Respek),
Berbagai strategi penanggulangan kemiskinan tidak akan ada artinya apabila tidak segera diimplementasikan. Beberapa program pengentasan kemiskinan yang dapat diimplementasikan adalah:
1.                Program bebas biaya pendidikan dan kesehatan. Program ini ditujukan untuk mengurangi pengeluaran penduduk miskin untuk kebutuhan dasar mereka. Apabila pemerintah menanggung pengeluaran kebutuhan dasar diharapkan sisa pendapatan penduduk miskin dapat dialihkan untuk memenuhi kebutuhan pokok lainnya. Selain itu, daya beli penduduk miskin  diharapkan meningkat.
2.    Program pemberdayaan masyarakat seperti PNMP Respek agar terus dijalankan dengan mengoptimalkan fungsi pengawasan.
3.                  Program BLT harus lebih disempurnakan dengan lebih meningkatkan akurasi data penduduk miskin.
Setidaknya ada tiga upaya pengentasan kemiskinan yang telah dilaksanakan pemerintah pusat. Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) diluncurkan untuk mengurangi dampak kenaikan bahan bakar minyak (BBM) di tahun 2005 terhadap kelompok penduduk yang rentan terhadap kenaikan garis kemiskinan. Kenaikan BBM dipastikan akan mendorong garis kemiskinan lebih tinggi sehingga penduduk yang hisup sedikit di atas garis kemiskinan beresiko jatuh di bawah garis kemiskinan. Program BLT dilanjutkan hingga tahun 2008. Program berikutnya adalah pemberdayaan masyarakat.  Program ini tergabung dalam PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) yang difokuskan pada 5720 kecamatan daslam bentuk bantuan langsung masyarakat (BLM) sebesar Rp 3 Milyar per kecamatan/tahun. Program ketiga berupa pemberdayaan mikro dan kecil (UMK). Sasaran program ini adalah pelaku usaha mikro dan kecil dalam bentuk penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) senilai Rp 5.000.000 atau kurang.



Sumber: